Saturday, May 14, 2011

FESTIVAL MALANG TEMPOE DOELOE

Ribuan orang yang berdesakan, berjubel bak minuman es dawet yang diaduk, memadati arena "Malang Tempoe Doeloe" di kawasan Jalan Ijen boulevard sepanjang 2,2 kilometer.

Tak hanya nuansa yang benar-benar menghadirkan suasana tempo dulu hadir pada acara itu, suasana temaram tanpa penerangan listrik, busana yang dikenakan penjaga gerai yang terbuat dari gubuk dengan atap rumput ilalang, daun tebu atau jerami padi pun juga bercorak kuno.

Jajanan, furniture, asesoris, bahkan buku-buku hingga uang kuno pun tidak luput dari sajian "Malang Tempo Doeloe" yang dikemas seperti zaman puluhan hingga ratusan tahun silam.

"Tema gelaran `Malang Tempoe Doeloe" setiap tahunnya memang berbeda, namun tidak meninggalkan ciri khasnya sebagai wisata sejarah dan setiap stan juga didampingi oleh petugas yang mampu menjelaskan apa yang disuguhkan masing-masing stan," kata Ketua Panitia Pelaksana Dwi Cahyono.

Menurut pemilik Yayasan Inggil itu, gelaran Malang Tempoe Doeloe yang sudah memasuki tahun kelima selalu mampu menyedot animo masyarakat, bahkan dari tahun ke tahun terus meningkat.

Peminat tidak hanya dari wilayah Malang Raya, namun juga dari berbagai daerah dan wisatawan mancanegara, khususnya Jepang, Australia, dan Belanda.

Pada 2009, katanya, peserta stan tidak hanya diisi oleh warga Kota Malang, tapi juga dari beberapa negara tetangga yang diwakili oleh para mahasiswa yang menempuh pendidikan tinggi di daerah ini, seperti Malaysia, India, Bangladesh, Philipina, Selandia Baru, dan Thailand.

"Kami upayakan setiap tahunnya banyak peserta dari mancanegara yang berpartisipasi. Kabarnya Pak Wali Kota juga akan mengundang pemerintah Belanda dan Jepang untuk berpartisipasi aktif sebagai peserta Malang Tempoe Doeloe," katanya.

Para pengunjung Malang Tempoe Doeloe, katanya, sebenarnya tidak hanya disuguhi berbagai macam atraksi kesenian dan budaya serta jajanan khas tempo dulu. Namun, juga diberi kesempatan untuk memperluas wawasannya tentang sejarah dan budaya karena Malang Tempoe Doeloe tersebut sejatinya sebagai sarana edukasi bagi pengunjung.

Kalau dilihat sekilas tampilan stan-stan yang beratap jerami atau ilalang itu memang tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Tapi, yang disuguhkan di dalam stan terutama di kawasan panggung utama selalu berbeda dan fungsinya lebih banyak sebagai sarana pendidikan sejarah yang dikemas mendekati ajang festival.

Dwi mengaku, untuk menghadirkan suasana Malang Tempoe Doeloe dengan stan-stan beratap jerami dan ilalang itu dirinya harus berburu hingga ke luar daerah, apalagi pernik-pernik yang menandai masa lampau juga sulit diperoleh.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Rr Diana Ina mengatakan, untuk memperkenalkan ajang yang sudah menjadi agenda tahunan Kota Malang itu, dirinya bersama instansi terkait dan beberapa pemilik hotel serta pemilik biro perjalanan wisata telah melakukan berkeliling hingga ke Bandung dan Yogyakarta.

"Buah dari kerja keras kami perlahan-lahan telah membuahkan hasil. Setiap acara Malang Tempoe Doeloe, jumlah pengunjungnya terus meningkat, bahkan acara yang digelar hanya empat hari (20-23/5) itu mampu membukukan transaksi ekonomi sekitar Rp 10 miliar dengan tingkat kunjungan rata-rata mencapai 600 ribu-700 ribu orang per hari," katanya.

Padahal, kata dia, jumlah stan yang diberi izin juga sama dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni hanya 470 stan dari 900 pendaftar.

"Kami akan mengemas agenda tahunan menjadi lebih baik dan menarik lagi agar pengunjung yang datang tidak hanya wisatawan domestik saja, tapi juga mancanegara dengan jumlah besar," ungkapnya.

Seorang pemilik stan bakmi tempo dulu, Taufikurahman mengaku selama empat hari membuka stan di arena Malang Tempoe Doeloe, dirinya mampu meraih keuntungan bersih sekitar Rp 5 juta.

"Saya berharap tahun depan arealnya ditambah hingga menutup seluruh Jalan Ijen, mulai dari perempatan Jalan Bandung hingga Jalan Kawi agar pengunjung tidak sampai berdesakan seperti `es dawet` yang diaduk dan mereka juga bisa menikmati suasana masa lalu termasuk jajanan yang dijual," katanya.

Miskin wisata alam

Wilayah Kota Malang yang terhampar seluas 110 km persegi yang dihuni oleh sekitar 800 ribu jiwa itu memang tidak memiliki satu pun areal wisata alam seperti dua daerah tetangganya, Kota Batu dan Kabupaten Malang, yang kaya akan wisata alam.

Tak heran jika Pemkot Malang terus berupaya menelurkan ide-ide dan inovasi yang mampu menggaet wisatawan domestik dan mancanegara ke kota itu. Tidak hanya sebagai kota transit, tapi juga sebagai kota tujuan bagi wisatawan.

"Kita ini miskin areal wisata alam, bahkan lokasi wisata buatan yang menjanjikan, sehingga kita harus terus berupaya mengeksplorasi kemampuan untuk menggali potensi yang bisa mendatangkan wisatawan domestik maupun mancanegara. Salah satunya ya Malang Tempoe Doeloe ini," kata Wali Kota Malang Peni Suparto.

Ia mengakui, untuk menarik wisatawan terutama mancanegara memang tidak mudah, apalagi tidak ada satu pun wisata alam yang bisa "dijual".

"Kalau kita ingin menjual `event` Malang Tempoe Doeloe ini sebagai wisata sejarah ya harus dipadukan dengan komponen lain yang selaras, seperti bangunan-bangunan kuno (cagar budaya)," kata Peni.

Menurut dia, di wilayah Kota Malang masih ada beberapa bangunan kuno yang bisa dijual pada wisatawan mancanegara, seperti bangunan Balai Kota Malang, rumah-rumah zaman Belanda yang berada di sekitar jalan gunung-gunung serta kawasan Jalan Ijen.

Hanya saja, untuk "menjual" bangunan kuno sebagai daya tarik bagi wisatawan mancanegara memang tidak mudah, harus ada pemandu yang benar-benar paham dengan sejarah setiap bangunan itu.

Sejarawan asal Universitas Negeri Malang (UM) Dwi Cahyono mengatakan, keinginan dan ide untuk "menjual" bangunan bersejarah di Kota Malang tersebut sudah cukup lama terlontar, namun sampai saat ini belum terealisasi secara maksimal.

Bahkan, kata dia, sampai saat ini pemerintah juga belum memetakan bangunan dan kawasan yang menjadi areal cagar budaya.

"Memang ada beberapa bangunan kuno dan bersejarah, tapi kondisinya ya seperti itu, bahkan yang ada di kawasan Jalan Ijen sudah banyak yang berganti ornamen maupun bentuk bangunannya," katanya.

Untuk memperkenalkan wisata sejarah secara integral dengan bangunan kuno, kata Diana, kemungkinan besar masih belum bisa dilakukan dalam waktu dekat ini karena berbagai persiapan harus dilakukan, termasuk menyiapkan pemandu wisata sejarah.

"Sementara ini kita kuatkan dulu gelaran Malang tempoe Doeloe sebagai `ikon` baru wisata sejarah. Toh dalam setiap gelaran juga dibarengi dengan pendidikan dan pengetahuan sejarah Kota Malnag di masa lalu, mulai dari zaman kerajaan hingga kolonial Belanda dan menjelang kemerdekaan di tangan penjajahan Jepang," kata Diana.

Malang Tempoe Doeloe yang digelar setiap tahun sebagai rangkaian HUT Kota Malang itu menghadirkan tema yang berbeda-beda.

Pada 2010 tema yang diusung adalah "Rekonstruksi Budaya Panji", sehingga nuansa yang dihadirkan juga banyak mengusung topeng Malangan yang menceritakan perjalanan Pangeran Panji (Inu Kertapati) dalam mencari istrinya, Galuh candra Kirana.

Selain itu panitia juga menyuguhkan lomba melukis topeng dan menari topeng yang diikuti 5000 penari. Tarian topeng Malangan yang diikuti 5000 penari dengan topeng ukuran empat 4 meter itu dicatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).
Tema yang diangkat pada Malang Kembali VI 2011 kali ini adalah Discovery Heritage. Menawarkan kesempatan untuk mendalami lebih jauh mengenai kekayaan warisan sejarah budaya Malang. Aktivitas yang dapat diikuti terdiri dari beberapa macam hal seperti tur budaya, kuliah umum, kelompok belajar, workshop, gelar tradisi, dan pasar rakyat yang pada tujuannya dilakukan untuk menyiapkan para pesertanya agar dapat meneliti lebih jauh lagi mengenai kebudayaan, kehidupan masyarakat, sejarah dan juga kesenian yang ada di wilayah Malang.
http://forum.vivanews.com/showthread.php?t=19444

No comments:

Post a Comment